Jumat, 31 Juli 2009

Cerpen : Paradise Inside You're Eyes




Malam ini aku duduk sendiri, menatap langit dengan penuh harap seolah-olah dia mampu mengusir kegundahan yang sedang duduk disampingku. Aku tak tahu apakah ini karena aku tak pernah berhenti untuk tetap merindukan seseorang yang sampai saat ini masih saja melayang –layang di ingatanku, dan tak pernah berhenti hadir dalam setiap mimpi indahku yang secara perlahan telah berubah menjadi mimpi buruk yang terus saja menyiksa. Atau mungkin ini hanya rasa sakit yang telah terlanjur bersarang dalam rongga hati dan selalu saja aku coba untuk pungkiri, meski dengan penuh sadar aku tahu, sekuat apapun ku pungkiri rasa sakit ini tak mungkin enyah dalam hitungan hari.




Kemana perginya tangguhku yang selama ini aku bangga-banggakan? Kemana rasa malu ku yang selama ini ku anggap bahwa air mata adalah sesuatu yang tabu? Tetapi kini malah menjadi satu-satunya cara untukku berkata disaat kata-kata menjadi terlalu berat untuk kuucapkan, hanya untuk sekedar mengatakan bahwa aku masih hidup,walaupun bersanding dengan kesedihan .


- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -


Waktu itu malam kurasakan begitu hangat, dinginnya angin malam yang biasanya kurasakan sampai ke tulang tak terasa olehku, bulan yang biasanya tampak biasa dengan didampingi semua bintangnya, malam ini kulihat bagaikan taman bunga yang baru saja mengijinkan bunga-bunganya untuk berkembang dan menyebarkan keharuman. Awan yang sedikit hitampun serasa menambah kesempurnaan malam.Atau mungkin ini hanya perasaanku saja? Karena sesungguhnya engkaulah yang membuat malam ini terasa begitu indah atau mungkin juga karena dinginya malam tlah mencair hanya dengan kau sedikit tersenyum atau bulan dan semua bintangnya telah engkau rangkai dengan belaian jarimu dan gelapnya malam telah kau taklukan dengan cahaya yang kau pancarkan lewat kedua matamu. Kutatap wajahmu dengan mata dan hatiku, tampak olehku kedamaian dan ketenangan berbinar dalam aura wajahmu. Tercium hawa kecantikan yang berhembus dari dalam jiwamu, jiwa yang kurindukan, jiwa yang begitu kuagungkan. Perlahan ketakutan dan kebahagiaan bercampur merayap dan menggerayangi seluruh tubuhku saat senyuman tersungging dari bibirmu, bibir yang begitu cantik hingga setiap kata berharap terucap darinya, membuat kata-kata yang telah tersusun indah untuk mengungkapkan bagaimana sesungguhnya pengelana ini begitu merindukan tempat untuknya menyandarkan kepala, melepaskan penat yang yang selama ini dirasakan, memejamkan sejenak kedua mata dan menghentikan langkah perjalanannya untuk selamanya, bagaimana sungai ini begitu merindukan samudera sebagai tempat persemayamannya, tempat mengakhiri petualangannya dan tempat menghentikan pencariannya. Lalu lenyap seketika. Tak mengijinkan apapun mengisi ingatan selain dirimu. Aku hanya berharap Tuhan lupa memutar waktu saat ini hingga aku bisa tetap memandangmu yang sungguh semakin lama semakin tak bisa aku lepaskan mataku darimu, dan merasakan degupan jantungku sendiri yang semakin tak beraturan, merasakan lidahku yang semakin kelu. Aku hanya bisa tersenyum tetapi seandainya kamu tahu bahwa senyumku ini tak menjelaskan sedikitpun dari apa yang aku rasakan, karena akupun tak tahu harus dengan apa kujelaskan perasaan aneh yang kurasakan saat ini, berada disampingmu, mendengar suaramu, merasakan nafasmu, aku selalu berharap bisa selamanya kulakukan itu.

“Kamu belum ngantuk?” Tanyaku, pertanyaan yang sungguh tak penting tapi memang karena aku tak tahu harus berkata apa lagi, otakku seperti berhenti bekerja, dia lebih memabukan dari lintingan ganja dan tak hanya itu karena dia juga telah membuatku kecanduan walaupun hanya dengan mendengar suaranya.


“Oh belum, memang kenapa? kamu sudah ngantuk?” Dia menjawab sambil menatapku sekilas lalu kembali berpaling menyembunyikan salah satu karya terbaik Sang Khalik yaitu wajahnya. Aku hanya diam sambil menggelengkan kepala, lalu kami kembali terdiam, sudah lebih dari 6 tahun aku mengenalnya dan hampir selama itu pula aku merasa tenang saat didekatnya. Tapi aku tak tahu sejak kapan cinta ini mulai menjamahku, yang aku tahu perlahan-lahan cinta ini semakin melemahkanku, menjadikan dia satu-satunya yang terlihat olehku, semua salahnya adalah maklumku, dan darinya hanya kesempunaan yang terlihat, tanpa cela, tanpa noda. Dia sungguh telah menyihirku dengan kepolosanya, mengikat tangan dan kakiku dengan senyumanya, dan menjadikanku tawanannya. Dia juga telah mematahkan leherku hingga ku tak mampu lagi berpaling. Apa mungkin ini terlalu berlebihan? Tapi memang itulah yang aku rasakan, tak ada yang lebih kuinginkan saat ini selain memeluknya dan mengatakan bahwa hanya dialah yang akan menyempurnakanku.



“Kamu kenapa hari ini?” Aku terbangun dari lamunanku saat tiba-tiba dia bertanya.
“Eee . . .ngga kenapa-napa”
Jawabku sambil berpaling kearahnya dan sekali lagi kutangkap pancaran matanya, saat ini dia sedang menatapku, tatapan rasa ingin tahu dan itu membuatku semakin bingung harus mengatakan apa lagi.
“Tapi kamu aneh banget hari ini, kamu ngga banyak bicara”. Semakin lekat dia menatapku.
“Kamu ada masalah? Kamu kan bisa cerita siapa tahu aku bisa bantu”.
Lanjutnya sambil menaruh tangannya diatas tanganku sesaat terasa sesuatu yang hebat melebihi sengatan listrik 1000 watt, dan membuatku semakin salah tingkah dan sekarang aku tahu kenapa dia bertanya seperti itu, tanpa sadar hari ini aku memang bertingkah aneh aku lebih banyak diam. Tapi itu semua karena dia. Sekarang tangannya semakin erat memegangku seakan meyakinkanku bahwa tak ada salahnya jika aku bercerita tentang masalahku, tapi seandainya dia tahu kalau saat ini bukan masalah yang sedang kuhadapi melainkan sesuatu yang lebih membingungkan lagi ,dan itu karena dia. Aku semakin terdiam dan kini aku membeku, kaku dan tak dapat bergerak, setelah terasa seperti tersengat listrik kini aku mati rasa.



“Ka….?”aku masih tetap diam dan kini aku tertunduk.
“Arka !!!!”
Sekali lagi dia menyebut namaku, tapi kali ini lebih keras hingga membangunkanku yang baru saja mati suri.
“Oh iya Ta, kenapa?” kataku tergagap seperti orang yang baru saja bangkit dari kematian.
“Kamu ini kenapa Arka?”
Katanya lagi tapi kali ini lebih pelan seraya menatapku, entah tatapan apa itu tapi sepertinya mulai saat ini aku harus mulai belajar berenang karena tiap kali kulihat matanya aku dibuatnya tenggelam, dan aku takut terhanyut dan tak bisa kembali lagi.



“Aku jatuh cinta.”
Kataku lirih hampir tak terdengar sambil kembali menatapnya, dan sekali lagi aku tenggelam dalam matanya dan aku harus berusaha keras untuk kembali ke permukaan.
“Apa?” entah tidak mendengar atau tidak percaya
“Ha ha ha ha…” Dia melepaskan tangannya lalu mengusap-usap rambutku sambil tertawa.
“Dasar orang yang aneh.” Lanjutnya sambil terus tertawa pelan.
“Kenapa aneh? Memang jatuh cinta itu aneh?”
Kataku pelan tapi kali ini aku memalingkan mukaku karena aku belum belajar berenang dan aku tak berani menatapnya sekarang.
“Bukan begitu Ka, tapi ngga usah kamu kasih tahu juga aku udah tahu kalau kamu sekarang lagi jatuh cinta.” Kali ini dia sudah berhenti tertawa tapi dia masih menatapku, aku bisa merasakannya meskipun aku tak melihatnya.
“Darimana kamu tahu?” Aku menengok kearahnya tapi hanya sekilas karena aku tak mau mengambil resiko untuk tenggelam lagi
“Ngga cuma aku saja Ka, tapi semua orang juga bisa tahu kalau kamu ini sedang terserang virus merah jambu.” Dia kembali bersandar ditempat duduknya dan sepertinya dia tak menatapku lagi.
“Virus merah jambu apa?”
“Jatuh cinta Ka, kan biasanya warna merah jambu itu identik sama cinta.” Lanjutnya sambil tersenyum.
“Ada-ada saja Ta, ngga gitu juga kali. Aku tetap suka warna putih biar lagi jatuh cinta.”


Malam semakin larut, mungkin saja sudah pukul 11 lewat, tapi tak sedikitpun terasa dingin di kulitku. Pasti karena dia ada didekatku menghangatkan tubuhku walaupun masih berjarak 30 cm dariku, dan mataku juga tak sedikitpun mengantuk, karena saat ini aku tak ingin tertidur sama sekali. Sekarang percuma juga aku tertidur karena mimpi indahku sedang duduk disampingku. Dia duduk disamping kananku, tapi sebenarnya tanpa ia sadari dari tadi yang dia duduki adalah hatiku, dan tak hanya itu dia juga mengusai otakku memaksanya untuk tetap memikirkanya dan tak membiarkan sesuatu yang lain mengusiknya, kami berdua masih tetap duduk di kursi depan rumahnya.




Suasana semakin tenang karena akhirnya hujan turun juga tapi masih malu-malu untuk menunjukan semua wajahnya, masih rintik-rintik dan sesekali diikuti hembusan angin lembut yang menerpa wajah kami berdua.
“Memang kamu tahu aku jatuh cinta sama siapa?”aku bertanya sambil mengusap air hujan yang terbawa angin mengenai mukaku.
“Ya pasti tahu lah, jangankan aku semua orang Indonesia juga tahu siapa yang bikin kamu jatuh cinta.” katanya sambil tertawa pelan.
“Memang udah masuk infotainment ya?” Jawabku sekenanya, sambil tersenyum kecut.
Dia tertawa lebih keras dari sebelumnya dan belum juga menjawab pertanyaanku. Apa mungkin dia tahu bahwa dialah orang yang aku maksud, tapi sepertinya dia sudah salah orang. Karena tak mungkin reaksinya seperti itu jika dia sudah tahu yang sebenarnya.
“Ya siapa lagi coba kalau bukan Nira?” Dia sudah berhenti tertawa tapi masih terlihat senyum diwajahnya.
“Nira?”
“Iya siapa lagi Ka, kalau bukan dia. Temen-temen juga udah tahu semua, trus gimana perkembangannya?”
“Sok tahu kamu Ta.” Jawabku sedikit kesal, dan ternyata dia memang belum tahu yang sebenarnya, ini membuatku kecewa karena dia memang tak bisa membaca mataku, mata yang memujanya, mata yang mengaguminya, dan mata yang selalu saja tenggelam jika menatapnya. Ternyata dia tak bisa membaca pikiranku, pikiran yang selalu dipenuhi olehnya, pikiran yang telah dia sabotase hingga aku tak lagi punya kendali.
“Bukan dia ta.” Jawabku sambil melayangkan pandanganku pada wajah langit yang masih tampak gelap, seakan-akan yang kulihat adalah wajah sang kekasih yang begitu kurindukan pelukannya dan mungkin juga itu yang dia pikirkan karena dia mendekatkan wajahnya padaku mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya ada dalam mataku.
“Siapa Ka?” dia bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dariku
“Kau pasti tahu orangnya”. Jawabku tanpa berpaling menatapnya.
Lalu keheningan kembali memeluk tubuh kami berdua, hembusan angin membelai wajahku, kupejamkan mata membayangkan tangannyalah yang menjamahku, menelusuri tiap bagian wajahku, dan dia akhirnya akan menemukan begitu banyak namanya yang tertulis disana. Aku tersadar dia kembali bersandar ditempat duduknya tanpa berkata-kata sepertinya dia masih menungguku melanjutkan perkataanku. Sementara aku kembali melayangkan jauh pandanganku, mekipun sebenarnya tak ada lain yang terlihat olehku melainkan wajahnya.


“Kamu pernah jatuh cinta?” Kata-kata itu tiba-tiba meluncur begitu saja dari mulutku. Mataku kembali terpejam karena aku tahu sejauh apapun mataku melihat tetap saja masih dia yang terlihat.tapi ternyata tepejampun sama saja.
“Siapa?”
“Kamu lah, memang siapa lagi.” Jawabku sedikit jengkel.
“Entahlah, aku ragu buat jatuh cinta, takut jadi kaya kamu Ka, jadi orang yang aneh.” Jawabnya datar coba merubah suasana.
“Aku serius Ta, aku akan menceritakan seperti apa dia, bagaimana dia mengalihkan duniaku, bagaimana dia telah menjadikan setiap wajah serupa wajahnya dimataku, bagaimana dia telah menjadikan tiap kata-kata cinta menjadi begitu sulit terucap saat didepannya hingga membuatku memilih untuk puas hanya dengan mengaguminya tanpa mengatakan yang sebenarnya. Karena dialah aku tahu bahwa Sang Khalik tak pernah berhenti membuat keajaiban.”

Dia terdiam menatapku, seakan tak percaya mendengar apa yang baru saja aku katakan.
“Kamu Arka kan?,”dia bertanya sambil menempelkan punggung tangannya di dahiku.
“Kamu beneran Arka kan?” dia berkata sekali lagi seakan masih tak percaya.
“Yaaa…Aku masih Arka,hanya saja aku Arka yang sudah dibuat gila oleh cinta.”kataku sambil terus melayangkan pandanganku jauh menatap langit gelap tanpa menghiraukannya
“Perasaan yang aneh, pantas saja kamu heran karena sampai sekarang aku sendiri juga belum benar-benar mengerti.”lanjutku.
“Awalnya aku ngga percaya kalau dia yang membuat aku sekacau ini, membuatku ngga bisa terpejam sebentar saja tanpa perlu wajahnya yang terlihat,”
“Aku sangat mengenal suaranya, sangat mengenal harum tubuhnya sangat hafal lekukan senyumnya karena semua itulah yang selalu mengawali setiap hariku dan mengantarku menemui mimpi indahku.” Lanjutku, dan dia hanya terdiam dan tak melepaskan matanya dariku.
“Aku habiskan banyak waktu untuk menyangkal perasaan ini, aku tepis semua bayangan wajahnya yang tak henti-hentinya mengggangguku, tapi semua ternyata percuma. Matanya . . . . .ya karena matanya aku dibuat tenggelam dan kini aku terhanyut didalamnya.”
“Aku ngga bisa kembali lagi Ta.” lanjutku sambil menatapnya yang ternyata juga masih menatapku.
“Aku sudah menyerah Ta, aku ngga bisa kembali lagi. . . . aku jatuh cinta Ta, dan aku bisa gila karenanya.” Kataku sambil memandang lekat matanya, seolah-olah pandangan memohon agar dia mengerti dan membaca apa yang tertulis dimataku. . .yaitu namanya.



“Hebat banget dia Ka? Dia membuatku iri.” Katanya sambil melepaskan pandangannya dariku.
“Dia memang akan membuat semua perempuan iri, karena dimataku dia begitu sempurna, hingga aku berfikir Tuhan menghabiskan waktunya sedikit lebih lama saat menciptakannya, hingga tiap detailnya tanpa cela untukku.” Jawabku sambil terus berpikir harus bagaimana mengatakannya bahwa dialah orangnya.
“Apa dia tahu kamu pernah mengatakan ini? Dia bertanya setelah semenjak tadi hanya mendengarkan.
“Sepertinya dia belum tahu, meskipun aku berharap dia bisa tahu tanpa perlu aku mengatakannya.”jawabku.
“Bagaimana dia bisa tahu kalau kamu belum mengatakannya, katakan saja sekarang aku yakin perempuan manapun akan sangat beruntung jika tahu ada orang yang mencintainya sepertimu.” Dia berkata tapi kali ini nadanya lebih serius.
“Aku takut.”kataku pelan.
“Kenapa mesti takut” katanya seraya menatapku.
“Aku takut . . . . aku takut yang dia rasakan ngga sama dengan yang aku rasakan.”jawabku.
“Aku takut dia marah” lanjutku.
“Kenapa marah Ka?, memangnya salah kalau kamu punya perasaan cinta sama dia, itu kan hak masing-masing orang, apa jangan-jangan kamu suka sama istri orang ya? Ha ha ha. . “ Katanya sambil tertawa.
“Aku serius Ta, kamu dari tadi bercanda terus.” jawabku sedikit jengkel.
“Iya maaf Ka, habisnya dari tadi kamu serius banget si, oia memangnya siapa perempuan yang bisa merubah seorang Arka yang tadinya pelawak tiba-tiba jadi seorang penyair?” katanya sambil mendekatkan wajahnya padaku menantikan jawabanku.
Tapi aku malah terdiam, aku belum tahu harus bagaimana mengatakannya, haruskah aku jujur sekarang? Tepatkah waktunya? Dia akan menerima atau menolakkah? Apa dia akan marah lalu membenciku? Pertanyaan-pertanyaan itu terus saja terlintas di pikiranku membuatku semakin takut untuk menggerakan lidahku.
“Ayolah Ka jawab, kamu sudah bikin aku iri dari tadi muji-muji dia terus sekarang kamu ngga mau jawab, bikin penasaran aja.” Dia kembali bersandar tampaknya dia mulai kesal karena penasaran.
“Ita.” Kataku singkat.
“Apa Ka?” jawabnya sambil menoleh kearahku.
“ Perempuan yang dari tadi aku ceritakan namanya Ita.” Jawabku.
“Ita mana?” dia bertanya,wajah tak mengerti dan bingung yang terlihat jelas saat aku menatapnya.
“LALITA NUR FITRIA, yang lahir tanggal 5 April 1989 tinggi badannya 158cm rambutnya sebahu yang benar-benar sudah membuat aku jadi gila,yang senyumnya kini selalu aku rindukan yang wajahnya selalu terlihat tak peduli saat siang aku terjaga ataupun malam saat mataku terpejam, yang matanya selalu membuat aku tenggelam saat menatapnya, dan mata yang selalu kulihat ada surga didalamnya.” Kata-kata itu tiba-tiba saja meluncur dari mulutku, entah aku mendapatkan kekuatan darimana, entah apa yang merasukiku barusan sehingga kata-kata yang selama ini tertahan hanya sampai di tenggorokan dapat terucap oleh lidahku.
“Kamu bercanda Ka?” dia berkata dan aku tak pernah melihat wajahnya seperti itu, wajah kebingungan, tak percaya atau apakah itu tapi yang jelas ekspresi yang aku harapkan tak terlihat diwajahnya.
“Aku mungkin menghabiskan sebagian atau mungkin hampir seluruh waktuku untuk bercanda, tapi diantara sedikit yang serius itu, ini salah satunya.” jawabku sambil tetap menatapnya.
“Aku yakin dengan yang apa aku rasakan sekarang, aku sadar waktu yang kuhabiskan untuk menyangkal perasaan ini adalah sia-sia, aku sudah jatuh Ta, aku jatuh cinta, dan kamu orangnya yang sudah membuatku jatuh.” Lanjutku, kali ini aku menggenggam erat tangannya dan mencoba meyakinkan bahwa yang kukatakan sekarang adalah benar yang ada dalam hatiku, dan tak ada sedikitpun kebohongan disana.
“Tapi ini ngga mungkin, aku pikir kamu bercanda waktu bilang bukan Nira orangnya, bukannya selama ini perempuan yang ada di hati kamu itu Nira? Dan sepertinya itu juga yang Nira rasakan.” Jawabnya dengan terbata-bata dan masih dengan wajah seperti tadi.
“Apa maksud kamu Ta?, perempuan yang aku maksud itu kamu, aku ingin kamu tahu selama ini dengan tanpa aku sadari ternyata kamulah yang sudah mengisi tempat di hatiku, kamu yang selama ini kuanggap sebagai teman sekaligus sahabat ternyata secara perlahan kamu telah mencuri cintaku, dan sekarang aku tak ingin meminta kamu untuk mengembalikan cinta itu, tapi aku ingin kamu mau membaginya berdua denganku.”
“Tapi seperti yang kamu bilang, kita ini teman kan? apa menurut kamu itu belum cukup membuat kita bahagia, dan menurutmu pantas untuk ditukarkan dengan yang selain itu?” jawabnya membalas tatapanku dengan mata berkaca-kaca.
Jawaban itu membuatku malu dan tak tahu harus berkata apa lagi.
“Kalau ada yang lebih membahagiakan daripada berteman dan menjadi sahabatmu maka itu adalah melihatmu tersenyum dan tertawa setiap hari” jawabku.
“Apa itu ngga bisa kamu lakukan kalau kita berteman?” dia bertanya lagi seraya menatapku lebih dalam, tatapannya terasa menembus jauh kedalam jiwaku.
“Tapi aku ingin kamu tersenyum dan tertawa karena aku dan untuk aku.” Jawabku sambil berpaling aku tak kuat lagi terus menatapnya.
“Juga menangis, bersedih karena kamu dan untuk kamu.”dia berkata sambil memalingkan wajahku agar kembali menatapnya.
“Apa maksudmu Ta?, ngga sedikitpun terlintas niat buat bikin kamu menangis , apalagi sedih, aku sayang sama kamu Ta, aku ngga akan pernah maafin diri aku sendiri kalau sampai buat kamu menangis.”jawabku yang masih tak mengerti apa sebabnya dia berkata seperti itu.
“Dengan berteman kita pasti bakalan terus seperti itu, kita ngga akan pernah saling menyakiti, ngga akan ada sesuatu apapun diantara kita selain rasa sayang sebagai teman, dan menurutku itu yang lebih baik.”jawabnya sambil menggenggam tanganku yang dari tadi mengenggamnya lebih erat.
“Memang apa yang salah jika aku menginginkan lebih dari itu, apa salah jika aku ingin kamu cuma untukku?” kataku mencoba meyakinkannya.
“Ngga ada yang salah Ka, justru aku merasa beruntung karena kamu begitu menyayangiku, tapi sekarang kamu pikir lagi apakah sayang itu adalah benar cinta atau hanya rasa sayang seorang teman?”
“Dan selama ini rasa sayang itulah yang membuat kita saling peduli dan saling mengisi, aku ngga mau kita menghancurkan rasa sayang yang selama ini ada diantara kita.” Lanjutnya.
“Memang menurutmu cinta itu akan menghancurkan rasa sayang yang selama ini ada diantara kita, bukankah itu justru akan semakin menambah rasa sayang kita?”kataku mencoba bertahan.
“Mungkin memang kita akan semakin saling menyayangi jika yang kamu dan aku rasakan sekarang adalah benar-benar cinta. Tapi kita pasti akan sebaliknya jika ternyata yang kita rasakan hanyalah rasa sayang seorang teman dan kita hanya salah mengartikannya, dan kita belum siap buat lebih dari sahabat jika hanya rasa sayang itu yang kita punya.”jawabnya.
“Ta kamu belum percaya dengan apa yang aku rasakan?”
“Aku ngga tahu Ka, aku sendiri masih ragu dengan perasaanku ini.”jawabnya lirih.
“Aku tahu apa yang aku rasakan sekarang, sekarang bilang aku harus gimana biar kamu yakin Ta?”
“Aku benar-benar ngga tahu Ka, aku ragu apa yang aku rasakan sekarang ini benar cinta atau bukan, aku tahu dan aku yakin sayangmu itu bukan bohong tapi aku takut Ka.”jawabnya.
“Apa yang kamu takutkan Ta?”
“Aku takut Ka, . . . . aku takut apa yang sudah kita punya selama ini akan hilang gara-gara ini.” Jawabnya.
“Aku takut kehilangan saat-saat seperti kemarin, aku takut kehilangan Arka yang ku kenal, aku takut kehilangan teman seperti kamu dan aku nggak rela kehilangan sahabat seperti kamu.”
“Itu ngga akan pernah terjadi Ta, aku janji” kataku yang mulai merasa bahwa aku tak akan pernah bisa memiliki makhluk terindah yang duduk dihadapanku ini seutuhnya, teman, sahabat, ya kedua kata itu kata yang tak asing lagi bagiku tapi terdengar begitu menyesakan dada, seakan-akan Ia sedang membunuh harapku yang selama ini kupendam.



“Ka. . .aku merasa beruntung memiliki kamu, kamu adalah orang terhebat yang pernah kukenal, aku sudah merasa cukup menjadi temanmu, karena itu sungguh membahagiakan buatku, kamu yang bisa buat aku tertawa setelah sebelumnya mataku dipenuhi air mata dan kamu yang buat hari-hariku menjadi lebih menyenangkan, aku sangat menyayangimu Ka seperti kamu juga menyayangiku, dan kamu sangat berarti buatku. Arka, . . .kita ini sahabat dan aku mau kita tetap seperti itu, bukan yang lain.” Kata-kata pujian yang seharusnya membuatku bangga tetapi malah sebaliknya, kata-kata itu benar-benar meluluhlantahkanku, seperti pisau tajam yang diukirkan puisi di bilahnya, sebagus dan seindah apapun mengukirnya itu tetaplah sebuah pisau dan aku yang tersayat tetap merasakan perihnya.



“Kamu ngga mencintaiku Ta?” tanyaku pelan hampir tak terdengar, sambil melepaskan genggaman tanganku dan bersandar ditempat dudukku, .. . lemah , . .putus asa.
“Dengar kata-kataku Ka.” Katanya sambil kembali meraih tanganku dan menggenggamnya mungkin dia merasa dengan begitu akan sedikit mengurangi rasa sakitku. Tidak, justru itu semakin menyakitiku sama seperti menuangkan air garam dilukaku yang belum kering.
“Aku menyayangimu, sangat menyayangimu Ka, tapi aku belum yakin dan belum berani berkata bahwa yang aku rasakan ini adalah cinta, aku sudah berbahagia dengan menjadi temanmu, dan menurutku itu sudah cukup buat kita, aku ngga mau mengambil resiko kehilangan semua itu, aku harap kita puas dengan apa yang sudah kita punya dan aku harap kamu mengerti Ka.?” lanjutnya.



“TENG . . . .TENG . . . .TENG” kami dikejutkan suara jam dinding dirumahnya yang berdentang 12 kali, menandakan sudah tengah malam, dan itu berarti sudah hampir 3 jam kami duduk diteras rumahnya.
Tapi untukku itu tak terdengar seperti suara jam melainkan suara bel yang menandakan bahwa upacara pemakamanku telah dimulai, upacara pemakaman untuk cintaku tepatnya, setelah sebelumya aku jatuh lalu hancur berantakan dan kini ku harus memunguti kepingan-kepingan sembari berjalan pulang. Semuanya berakhir saat dentangan yang terakhir. Aku menangis. . . dan sejak saat itu aku tak pernah tahu kapan aku benar-benar berhenti. . . . . . .


>to be continued<


Tidak ada komentar:

Posting Komentar