Kamis, 06 Agustus 2009

LAPAR

Aku terbangun saat dingin terasa menyayat kulitku,dingin sekali, sampai tak bisa lagi kurasakan betapa dinginnya udara kali ini. Jari-jari tangan dan kakiku seperti mati rasa. Dengan payah kucoba membuka mata. Ah, masih gelap ternyata, aku mencoba lagi menutup mata, melanjutkan tidurku, tapi seketika aku tersadar ternyata aku tertidur tanpa mengenakan baju.”Dimana ini?” tanyaku dalam hati. “Kenapa aku hanya tidur beralaskan kardus? Siapa yang memindahkanku dari kamarku yang hangat? Kenapa dingin sekali?” tanyaku lagi dmasih dalam hati. Celanaku masih terasa basah dan kulihat kaos berwarna cokelat, atau entah warnanya apa karena tampak begitu kusam tergantung di gagang rollingdor disamping tempatku tidur, dan tampaknya masih basah pula.

Sisa-sisa hujan semalam masih terasa, udara yang dingin sesekali membawa butiran air, dan menghempaskannya ketubuhku, benar-benar semakin membuatku menggigil. “Dimana ini?” Tanyaku lagi masih dalam hati sambil memperhatikan sekitarku.Gelap. Hanya beberapa neonbox yang masih kulihat nyalanya,redup tapi masih bisa kulihat tanganku sendiri, tampak lebih hitam dan kurus, kuku-kukunya hitam dan kotor,begitu juga dengan kakiku, banyak bekas koreng dan ada beberapa yang masih basah dan terasa perih waktu kusentuh.

“Apa yang terjadi denganku? Kenapa aku disini?” Aku menggigil…

Kulihat matahari perlahan mulai menampakan wajahnya, perlahan terasa hangat diwajah dan sekujur tubuhku, yang entah kenapa berubah legam dan tampak begitu kurus. Perlahan, aku bangkit dan duduk menghadap arah datangnya matahari. Kurasakan perutku melilit, sakit bukan main. Dan terasa semakin sakit tiap kali kugerakan badanku. “Kenapa ini?” Perutku seperti tak terisi makanan selama berhari-hari,badanku lemas sekali.

Belum reda sakitku, kurasakan sesuatu menghantam punggungku hingga aku terjerembab tak berdaya.
"Pergi lo sana ! Gue dah mau buka, dasar gembel sialan !!!" seseorang mengumpat setelah mendorongku dengan kakinya yang kemudian membuka rollingdoor tokonya. Sambil menahan sakit kucoba bangkit, tapi badanku begitu lemah, dan aku kembali tersungkur.

Aku kaget setengah mati saat kulihat wajahku di genangan air didepanku. “Apa ini? Aku siapa? Wajah siapa ini?” bukan wajahku yang kukenal yang kulihat. Yang kulihat didepanku saat ini lebih mirip seperti mayat hidup. Tampak tirus, tampak hitam di sekitar mata, bibirnya begitu pucat, tulang pipi yang terlihat jelas seperti tak ada daging disana.

“Apa yang terjadi denganku?” pertanyaan itu tak henti-hentinya terlintas dalam otakku.
"Hey, ni baju loe.. bikin kotor aja!!!" kata orang itu sekali lagi sambil melemparkan baju yang tadi tergantung, dan kini tepat mengenai kepalaku saat aku mulai melangkah dengan gontai. Lapar sekali. Perutku semakin sakit, mau pingsan rasanya. Aku masih berjalan menyusuri depan toko yang mulai membuka pintunya, deru mobil dan motor
bertambah ramai. Bising. Dan membuatku semakin pusing.
Pikiranku masih bertanya-tanya, “Sedang dimana aku ini? Apa yang terjadi?” tapi pikiran itu selalu dikalahkan oleh rasa sakit di perutku yang terasa makin menyiksa.
Lapar.

Kulihat seorang pria yang baru saja membuka tokonya. Bau harum roti dan kue dari dalam tokonya begitu menyengat dihidungku. Membangunkan cacing-cacing diperutku yang sedari tadi, atau kemarin, atau mungkin juga dari kemarin lusa belum mer sakan sedikitpun makanan. Entah.
Aku dekati pria itu dan mencoba berbicara dengannya, mungkin saja aku akan mendapatkan sedikit saja roti untuk mengganjal perutku yang terasa makin sakit tiap detiknya. Tapi, kenapa ini? Kemana suaraku? Aku mencoba berbicara tapi tak terdengar suara, hanya erangan, tak jelas apa bunyinya. “Kenapa aku tak bisa berbicara?”
Pria itu menatapku yang sedang mencoba berbicara dan memegangi perutku. Lalu dengan muka jijik dia mengacungkan jari telunjuknya, mengisyaratkan agar aku segera pergi. Aku ingin sekali teriak tapi pita suaraku sepertinya telah lenyap entah kemana.

Aku terus berjalan masih dengan memegangi perutku yang terasa seperti dicabik-cabik, aku sudah tidak tahan lagi. Aku tersungkur, dan kurasakan seluruh tubuhku menggigil, koreng dikakiku semakin perih saat menempel diteras yang
semakin panas karena hari bertambah siang. Entah berapa lama aku terbaring disana.
Kulihat bungkus makanan disamping tempat sampah, aku mencoba bangkit untuk meraihnya. "Tak apalah makanan sisa, daripada aku mati" batinku. Hanya beberapa suap nasi yang mulai basi dan tulang ayam yang tak tersisa sedikitpun dagingnya. Kumakan dengan begitu lahapnya seakan-akan yang kumakan itu adalah hidangan mewah makan malam seorang raja.

Tapi rasa sakit diperutku tak banyak berkurang. Badanku masih menggigil dan masih terasa begitu lemas. Tampaknya makanan tadi hanya cukup untuk cacing-cacing dalam perutku saja,belum untukku.

“Dimana ini? Aku sama sekali tak kenal tempat ini. Kenapa tubuhku berubah seperti ini? Aku ingin pulang…”

Perutku sakit sekali.

Matahari tepat berada diubun-ubun kepalaku, berputar-putar, mataku berkunang-kunang, tangan dan kakiku gemetaran,
dan tentu saja perutku yang sakitnya tak bisa lagi aku ceritakan. Aku belum pernah merasakan yang seperti ini sebelumya. “Apakah begini rasanya kalau mau mati?”

Dengan langkah gontai aku menghampiri satu persatu tempat sampah, berharap akan menemukan sesuatu yang bisa kumakan. Aku tak peduli lagi rasa jijik, apakah itu sisa tikus atau sisa lalat, yang kupikirkan sekarang adalah lapar yang sepertinya akan segera membunuhku. Rasa sakit diperutku tak terobati dengan sisa-sisa makanan yang kumakan, sepertinya lambungku memang sudah terlanjur terluka karena terlalu lama dibiarkan kosong. Kurasakan semakin melilit dan sekarang aku sudah benar-benar tidak kuat berjalan lagi, aku terduduk lemah menahan sakit. Lalu, tersungkur lagi. Aku menggigit bibirku, sakitku tak tertahankan. Sepertinya aku tak punya lagi sisa-sisa kekuatan. Akhirnya mataku terpejam saat matahari meredup dan menghilang.

"Apakah ini di surga?" saat kulihat sesosok wajah perempuan sedang tersenyum.
"Ngomong apa si kamu Du? Ngigo kamu, ini mama" kata perempuan tadi sambil membantu mendudukkanku ditempat tidur.
"Mama?"
"Iya, memang kamu kira siapa?, malaikat?"
"Aku dimana?" kataku sambil melihat sekelilingku.
"Kamu semalem pingsan, waktu kamu bilang sakit perut. Takutnya kenapa-napa jadi mama bawa kedokter.
Tapi kata dokter kamu cuma sakit perut biasa, kata dia karena kebanyakan makan." katanya sambil mengambilkan minum untukku.
"Nanti siang juga sudah bisa pulang, makanya Du,mulai sekarang kalau makan tu pakai aturan mentang-mentang lagi banyak makanan semuanya disikat, jadi sakit kan sekarang?!" lanjutnya.
"Kamu kenapa nangis Du? Masa cowok sakit perut doang nangis.."

...
Lalu kupeluk perempuan didepanku.

"Aku sangat beruntung ma.."






2 komentar:

  1. prosa cerpen dengan latar sosial humanis yang cukup apik dalam penyajian, alur mengalir renyah, sehingga pembaca tidak bosan untuk terus membacanya. Dan ada pesan yang cukup menyentuh untuk disampaikan prosa cerpen ini.

    andai, akhirnya sampai di kalimat dibawah ini saja, aku rasa akan kian menggigit dan memancing tanda tanya/rasa penasaran pembaca, sehingga kian meninggalkan kesan yang apik :

    "Apakah ini di surga?" saat kulihat sesosok wajah perempuan sedang tersenyum.
    "Ngomong apa si kamu Du? Ngigau kamu, ini mama" kata perempuan tadi sambil membantu mendudukkanku ditempat tidur.

    "Mama?"

    BalasHapus
  2. salam kak..
    wah, iya dech besok2 bikin yang menggigit..
    ajarin menggigit ya kak..
    hehe
    :D

    BalasHapus